
Grondkaart
Grondkaart atau dalam Bahasa Indonesia
adalah “Kartu Tanah”. Istilah tersebut akan sering didengar berkaitan
dengan tanah PT. Kereta Api Indonesia (PT KAI). PT KAI sendiri adalah
suatu perusahaan yang mulanya didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda
saat menjajah Indonesia.
PT KAI yang didirikan oleh Pemerintah
Hinda Belanda dahulu bernama Staatssporwegen atau disingkat sebagai
“SS”. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya berdasar Konferensi Meja
Bundar, segala aset-aset Pemerintah Hindia Belanda diambilalih oleh
Indonesia, termasuk perusahaan kereta api tersebut berikut dengan
aset-aset yang dimiliki.
Setelah diambil alih oleh Pemerintah
Indonesai, perusahaan tersebut bernama Djawatan Kerata Api. Kemudian
berubah menjadi Perusahaan Nasional Kereta Api. Selanjutnya berubah nama
menjadi Perusahaan Umum Kereta Api, dan terakhir berubah menjadi PT.
Kereta Api Indonesia.
Sebagai Badan Hukum, PT Kereta Api
Indonesia memiliki hak dan kewajiban, termasuk di dalamnya aset berupa
hak atas tanah. Namun demikian, dikarenakan PT. KAI tersebut merupakan
perusahaan Belanda yang diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, maka
terdapat beberapa aset yang alas haknya masih menggunakan ketentuan
Pemerintah Belanda, termasuk di dalamnya adalah aset berupa lahan.
Alas hak yang dimiliki oleh PT. KAI terhadap aset-aset tanahnya
adalah Grondkaart. Grondkaart pada saat ini dapat disamakan dengan Peta
Bidang Tanah. Bentuknya dalam lembaran besar, yang menunjukkan gambaran
tanah, nama wilayah, luas, dan beberapa detil lainnya.
Dalam perkara-perkara terkait tanah PT. KAI, Grondkaart sering
menjadi dasar pembuktian dari pihak PT. KAI. Tidak jarang karena
bentuknya yang hanya merupakan gambaran tanah, dan perbedaan dengan
kondisi saat ini, terdapat ketidakjelasan apakah bidang tanah yang ada
di lapangan adalah termasuk dalam gambar tersebut atau tidak.
Bila mencermati kasus-kasus yang ada, dalil grondkaart selalu
disertai surat Menteri Keuangan RI Cq Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN
Nomor : S-11 / MK. 16 / 1994 tanggal 24 Januari 1995 kepada Menteri
Agraria / Kepala BPN (selanjutnya disebut “Surat Menkeu”). Dalam surat
tersebut, ditegaskan bahwa tanah-tanah Grondkaart adalah milik PT KAI.
Hak Atas Tanah
Hak atas tanah merupakan salah satu
properti atau aset yang sangat menjanjikan. Nilai yang terus naik karena
jumlahnya yang terbatas sedangkan manusia terus bertambah, menjadikan
tanah sebagai aset yang mahal. Hanya sedikit tanah yang nilainya
menurun, diantaranya karena rawan menghilang atau berada di tempat yang
berbahaya seperti tanah delta dan tanah di daerah Lapindo Sidoarjo.
Sebelum Indonesia merdeka, terdapat
dualisme hukum yang berlaku, yaitu hukum yang diperuntukkan bagi
orang-orang barat dan timur, serta hukum yang berlaku bagi pribumi. Hak
atas tanah yang dimiliki oleh orang-orang barat dan timur berbeda
perlindungannya dengan hak atas tanah yang dimiliki oleh pribumi.
Sebagaimana dapat dilihat pada Bagian Kedua Tentang Ketentuan-Ketentuan Konversi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UUPA), terdapat beberapa hak barat yang disebutkan, yaitu :
– Hak Eigendom yang untuk pengonversiannya menjadi Hak Milik;
– Hak Eigendom kepunyaan Pemerintah
Negara Asing untuk keperluan kediaman Kepala Perwakilan dan gedung
kedutaan menjadi hak pakai;
– Hak Eigendom kepunyaan orang asing yang memiliki kewarganegaraan ganda dan badan-badan hukum menjadi Hak Guna Bangunan;
– Hak hipotek yang berdasar
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggunan Atas Tanah dan
Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut “UU
4/1996”) berubah menjadi hak tanggungan;
– Hak Erfpacht yang jika dikonversi maka akan menjadi hak guna usaha;
– Hak Gogolan, Pekulen atau Sanggan yang dikonversi menjadi Hak Milik.
Dalam ketentuan tersebut tidak satupun
yang menyebutkan Grondkaart sebagai dasar atau jenis hak atas tanah pada
masa pemerintahan Hindia Belanda.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953
tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara (selanjutnya disebut “PP 8/1953”),
tepatnya pada Pasal 2 mengatur bahwa:
“Kecuali jika penguasaan atas tanah
Negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, telah diserahkan kepada sesuatu Kementerian,
Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah Negara ada
pada Menteri Dalam Negeri.”
Penulis juga tidak dapat menemukan dasar
dari Grondkaart baik saat Pemerintahan Hindia Belanda maupun setelah
Indonesia merdeka. Namun demikian, berdasar Pasal 2 PP 8/1953 tersebut,
maka kepemilikan PT KAI yang saat pada tahun 1953 masih berstatus
Djawatan, diakui oleh pemerintah Indonesia.
Kekuatan Hukum Grondkaart Sebagai Hak Atas Tanah
Meski kepemilikan PT KAI diakui
berdasarkan Pasal 2 PP 8/1953, namun seyogyanya setelah tahun 1960,
yaitu setelah berlakunya UUPA, PT KAI mendaftarkan hak atas tanah yang
dimilikinya. Hal mana juga berlaku bagi tanah-tanah pribumi. Namun
demikian, PT KAI tidak mendaftarkan hak atas tanahnya, melainkan justru
berpedoman pada Surat Menkeu.
Perlu diketahui bahwa Pasal 5 PP 8/1953 mengatur:
“Kementerian, Jawatan atau Daerah
Swatantra berkewajiban akan menyerahkan kembali penguasaan atas tanah
Negara kepada Menteri Dalam Negeri di dalam hal tanah atau sebagian dari
tanah itu tidak dipergunakan lagi untuk melaksanakan atau
menyelenggarakan kepentingan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 atau maksud
yang terkandung dalam penyerahan penguasaan tersebut dalam pasal 2.”
Memang banyak permasalahan tanah yang
bersinggungan dengan Grondkaart timbul saat tanah-tanah dimaksud tidak
digunakan oleh PT KAI. Namun demikian, di kemudian hari, setelah
berpuluh-puluh tahun lamanya, atau bahkan saat adanya ganti rugi dari
pemerintah karena digunakan untuk kepentingan umum, PT KAI mulai
mengeklaim tanah-tanah yang dirasa masuk dalam Grondkaart.
Di samping itu, sebagaimana kita ketahui
bahwa pada tahun 2026, tanah bekas milik adat/girik/petok sudah tidak
diakui lagi sebagai bukti hak atau dasar pendaftaran hak atas tanah,
sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan
Pendaftaran Tanah. Namun demikian, hingga saat ini tidak ada peraturan
yang dengan tegas mengharuskan grondkaart didaftarkan.
Pendaftaran hak atas tanah oleh PT KAI
mungkin sangat menguras banyak anggaran karena lahan yang luas yang
dimilikinya. Namun demikian, ada baiknya pendaftaran hak atas tanah PT
KAI, terutama yang tidak mendekati rel maupun stasiun, segera dilakukan
karena tidak adanya pendaftaran tanah oleh PT KAI akan memberikan
ketidakjelasan terhadap kepemilikan hak atas tanah serta berpotensi
menimbulkan sengketa-sengketa antara BUMN dengan warga/masyarakat.
Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.