Kanigaran –
Komitmen mewujudkan Kota Probolinggo sebagai Kota Inklusif terus
digaungkan oleh Ketua Tim Penggerak PKK Kota Probolinggo, dr. Evariani.
Hal ini disampaikan saat ia hadir dalam pelatihan Perspektif GEDSI (Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial)
yang diikuti Forum Sahabat Disabilitas se-Kota Probolinggo, bertempat
di Aula Kelurahan Curahgrinting, Kecamatan Kanigaran, Kamis (17/4).
Sebanyak 60 peserta dari Kelompok
Disabilitas Kelurahan (KDK) mengikuti kegiatan ini dengan antusias.
Dalam sambutannya, dr. Evariani yang akrab disapa “Bunda Inklusi”
menyampaikan pesan motivatif yang kuat agar para difabel percaya diri
dan mengambil peran nyata dalam pembangunan.
“Kamu tidak didefinisikan oleh
keterbatasanmu, tapi oleh semangatmu untuk terus maju,”
tegasnya. Menurutnya, ini merupakan pertemuan awal, mendengarkan dan
merespons aspirasi dari komunitas difabel agar lebih terlibat dalam
membangun Kota Probolinggo. Karena inklusi itu kunci, sehingga difabel
harus ikut membangun Kota Probolinggo.
Ketua
Forum Sahabat Disabilitas, Andi menyampaikan bahwa komunitas difabel
tidak ingin hanya menjadi penerima manfaat dari program pemerintah,
melainkan juga ingin berkontribusi secara aktif.
“Meskipun kami punya keterbatasan, bukan
berarti kami tidak punya potensi. Pemerintah harus memberi ruang, dan
kami siap mengisinya,” ujar Andi.
Sementara itu, Dadang, perwakilan
difabel dari Kelurahan Jati, menyampaikan inisiatif pembentukan forum
serupa di wilayahnya. Ia menyoroti pentingnya akses pelatihan yang lebih
luas dari dinas terkait, karena saat ini masih terbatas hanya di Balai
Latihan Kerja (BLK).
“Kami sudah koordinasi dengan Lurah
Jati, tinggal menunggu support dari dinas. Kami harap pelatihan untuk
difabel bisa lebih terbuka,” kata Dadang.
Cerita inspiratif juga datang dari Bapak
Nur Hasan yang memiliki dua anak tunanetra. Keduanya telah menunjukkan
bakat luar biasa dalam bidang dakwah, seni, serta hafalan Al-Qur’an. Ia
berharap anak-anaknya dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih
tinggi di bidang Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau Tarbiyah di Perguruan
Tinggi di Kota Probolinggo.
Menanggapi aspirasi tersebut, dr.
Evariani mendorong pembentukan komunitas aktif sebagai langkah awal
untuk membuka akses lebih luas.
“Jika
komunitasnya aktif, kami bisa bantu jembatani dengan dinas, bahkan
dilatih jadi kader inklusi. Bukan pencitraan, ini soal pemberdayaan.
Kalau komunikatif, bisa kita latih jadi motivator,” ujar dr. Eva,
panggilan akrab istri Wali Kota Aminuddin ini.
Ia juga menegaskan bahwa kelompok lansia
udzur termasuk dalam kategori disabilitas, dan jika masih produktif,
mereka dapat diberdayakan sebagai penggerak dalam komunitas. Bahkan,
kegiatan inklusif ke depan bisa dikembangkan melalui lomba keterampilan
difabel seperti menyanyi, musik, melukis antarkota, hingga olahraga
seperti bola netra. Lomba ini bisa menjadi ajang pengembangan skill dan
kolaborasi antara kota dengan dukungan PPDIS.
“PKK harus punya sensitivitas terhadap
difabel, tidak boleh lagi merasa berbeda. Saya ingin masyarakat juga
bisa beradaptasi. Jika ada komunitas difabel yang berprestasi, kita akan
bantu publikasi melalui Kominfo,” tambah dokter yang murah senyum ini.
Ia juga memberikan apresiasi kepada
Kelurahan Curahgrinting yang sudah melibatkan KDK secara aktif, termasuk
dalam peningkatan PAD Kota melalui pendampingan pembayaran PBB oleh
difabel. “Justru tangan-tangan seperti inilah yang memberi kontribusi
riil dalam pembangunan,” pungkasnya.
Kegiatan ini juga dihadiri oleh Luluk Aryyantini, Ketua Pelopor Disabilitas Situbondo (PPDIS) yang memimpin program Solidair Inklusi,
hasil kolaborasi Pemerintah Indonesia dan Australia. Program ini hanya
dijalankan di Kota Probolinggo dan Kabupaten Situbondo sejak tahun 2022.
“Saya melihat Bunda Inklusi sangat
kooperatif. Saatnya difabel menunjukkan kapasitas dalam merencanakan
hingga mengevaluasi pembangunan yang inklusif,” kata Luluk.
Luluk juga menambahkan terkait
pertanyaan salah satu orang tua yang punya anak difabel tadi. Jika
pendidikan PLB tersedia di UNESA tersedia hingga jenjang S2, bahkan ada
juga perguruan tinggi sudah memiliki fasilitas pendampingan untuk
mahasiswa difabel.
Sementara itu, perwakilan dari Bappeda
Kota Probolinggo menginformasikan bahwa Institut Ahmad Dahlan bisa
menjadi alternatif pendidikan jurusan Tarbiyah yang diinginkan. Dari
sisi pemberdayaan ekonomi, difabel juga bisa terlibat dalam pengumpulan
sampah organik untuk disetorkan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH), yang
kemudian dimanfaatkan oleh BJBR dalam budidaya maggot untuk pupuk.
Acara ditutup dengan semangat
kebersamaan dan tekad untuk terus mengangkat potensi difabel agar tidak
hanya setara dalam hak, tetapi juga berdaya dan aktif dalam proses
pembangunan. (yul/pin)