Jadi Panelis Daring Cities 2025, Wali Kota Dokter Amin Bahas Ketangguhan Inklusif Hadapi Perubahan Iklim
Wali Kota Probolinggo dr. Aminuddin mendapat penghormatan sebagai panelis dalam forum internasional Virtual Daring Cities 2025 on Inclusive Resilience, yang diselenggarakan oleh ICLEI Southeast Asia – Local Governments for Sustainability, Kamis (7/8).
KANIGARAN – Wali Kota
Probolinggo dr. Aminuddin mendapat penghormatan sebagai panelis dalam
forum internasional Virtual Daring Cities 2025 on Inclusive Resilience,
yang diselenggarakan oleh ICLEI Southeast Asia – Local Governments for
Sustainability, Kamis (7/8).
Forum ini merupakan bagian dari jaringan
global yang beranggotakan lebih dari 2.500 pemerintah daerah dan
regional yang fokus pada pembangunan perkotaan berkelanjutan. Tahun ini
menjadi penyelenggaraan ke-6 Daring Cities, yang mengangkat tema “Risiko
Universal, Ketangguhan Universal: Bagaimana Respons Bencana Lokal yang
Inklusif Dapat Memberi Masukan bagi Adaptasi Tingkat Nasional.”
Dalam forum virtual yang diikuti dari
Gedung Command Center, Wali Kota Dokter Aminuddin tampil sebagai satu
dari enam panelis internasional, bersama perwakilan dari BNPB Indonesia,
Bangladesh, Filipina, dan Vietnam. Peserta yang mengikuti kegiatan
daring ini dari seluruh dunia yang mendukung aksi nyata dalam mitigasi
bencana perubahan iklim.
"Merupakan
kehormatan bagi saya, sebagai Wali Kota Probolinggo, untuk berbagi
pengalaman kota kami dalam membangun ketangguhan dari tingkat akar
rumput," ujar Aminuddin dalam sesi bertajuk “Dari Rehabilitasi Mangrove
hingga Pembersihan Saluran dan Kanal – Aksi Iklim Inklusif oleh
Masyarakat dan Pemerintah di Kota Probolinggo.”
Dokter Amin-sapaan wali kota, memaparkan
berbagai tantangan yang dihadapi Kota Probolinggo akibat perubahan
iklim, mulai dari banjir rob di pesisir Mayangan, kekeringan di wilayah
Kedopok dan Kanigaran, hingga peningkatan suhu dan keterbatasan ruang
terbuka hijau.
Ia menyoroti pentingnya strategi
ketangguhan inklusif, yang melibatkan kelompok paling rentan seperti
nelayan, pekerja informal, serta rumah tangga dengan kepala keluarga
perempuan. Sebagai contoh, Aminuddin menceritakan kisah pemulihan
mangrove pasca letusan Gunung Bromo tahun 2010 yang mengubur hutan
mangrove di Sungai Pilang, yang kini menjadi destinasi wisata baru di
Kota Probolinggo, Pantai Permata Pilang.
“Pemulihan dimulai dari masyarakat.
Kelompok tani dan nelayan lokal memimpin aksi awal, yang kemudian
diperkuat oleh kolaborasi antara pemerintah, sekolah, LSM, dan sektor
swasta,” jelasnya.
Ia menguraikan strategi pemulihan yang
dijalankan secara bertahap, mulai dari pengerukan manual, persemaian dan
penanaman mangrove, pembangunan infrastruktur dasar, hingga
pengembangan kawasan ekowisata Permata Beach Eco-Tourism. Dampaknya,
mangrove pulih, keanekaragaman hayati kembali, serta membuka peluang
ekonomi baru bagi masyarakat.
Tak
hanya itu, Dokter Amin juga menyoroti inisiatif lokal Gotku Resik,
sebuah gerakan sosial untuk meningkatkan kesadaran warga akan pentingnya
menjaga saluran air dan mencegah banjir. “Gotku Resik bukan sekadar
bersih-bersih, tapi kampanye perubahan perilaku dan kolaborasi lintas
sektor untuk membangun ketangguhan kota,” ujarnya.
Dokter Amin berharap, pengalaman
Probolinggo dapat menjadi inspirasi bahwa ketangguhan terhadap bencana
dan perubahan iklim harus dibangun “dengan, oleh, dan untuk masyarakat”.
Forum Daring Cities 2025 menampilkan
berbagai diskusi, studi kasus, dan lokakarya daring yang ditujukan untuk
mengangkat solusi nyata dari pemerintah daerah dalam menghadapi darurat
iklim secara lokal maupun regional. Forum ini mengapresiasi pemimpin
kota, peneliti, pelaku usaha, hingga komunitas yang berani mengambil
peran dalam aksi iklim.
Dengan keikutsertaannya dalam forum ini,
Kota Probolinggo kembali memperkuat posisinya sebagai salah satu kota
di Indonesia yang aktif mengembangkan solusi berbasis komunitas untuk
menghadapi tantangan global. (sit/fa)