Syifa Alam.
Rehabilitasi merupakan
sebuah penanganan khusus terhadap penyalahguna narkotika yang dapat
dilakukan pada setiap tingkat pemeriksaan agar terbebas dari
ketergantungan narkotika bukan suatu bentuk pemidanaan. Akan tetapi,
tidak setiap kabupaten/kota memiliki sarana rehabilitasi, sehingga
ketersediaannya terbatas. Dalam praktiknya, tidak semua penyalahguna
narkotika didakwa dengan Pasal 127 UU Narkotika atau melalui pemeriksaan
Tim Asesmen Terpadu sebagai syarat rehabilitasi, sehingga terlihat
adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Untuk mengatasi
ketidakadilan tersebut, Hakim dapat menjatuhkan rehabilitasi sesuai
Pasal 103 UU Narkotika jika barang bukti narkotika yang ditemukan tidak
melebihi batas yang ditentukan (SEMA 4 tahun 2010). Penempatan terdakwa
di lembaga rehabilitasi ditujukan untuk pemulihan atau pengurangan
pidana penjara, dalam hal ini diselaraskan juga sebagai pemidanaan oleh
putusan pengadilan.
Mahkamah Agung berupaya memberikan rasa keadilan, hakim dapat
menjatuhkan pidana penjara yang menyimpangi pidana minimum khusus dalam
Pasal 112, Pasal 114 UU Narkotika dalam hal terdakwa yang tidak didakwa
dengan Pasal 127, namun hakim menilai bahwa terdakwa terbukti sebagai
penyalahguna (SEMA 3/2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno
Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan).
Alternatif pidana penyalahguna narkotika
Penyalahguna narkotika perlu dikenakan rehabilitasi sebagai bentuk
pemulihan yang diselaraskan dengan pertanggungjawaban pidana. Hal ini
bertujuan agar menjadi contoh bagi masyarakat untuk tidak menggunakan
narkotika. Dengan berlakunya KUHP Nasional, terdapat beberapa jenis
pidana pokok selain penjara, yaitu pidana pengawasan, pidana denda, dan
pidana kerja sosial (Pasal 64 KUHP Nasional/UU No. 1 Tahun 2023).
Pembentuk undang-undang dapat mengatur bentuk pemidanaan yang tepat bagi
penyalahguna narkotika merujuk KUHP Nasional.
Pidana kerja sosial,
merupakan hukuman yang mengharuskan pelaku melakukan pekerjaan untuk
masyarakat sebagai tanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku dapat
melakukan kegiatan seperti membersihkan fasilitas umum, membantu di
panti rehabilitasi, atau mendukung kampanye pencegahan penggunaan
narkotika. Tujuannya adalah untuk mengurangi stigma kriminal terhadap
penyalahguna narkotika, memberikan kontribusi positif kepada masyarakat,
dan membantu pemulihan sosial, serta psikologis pelaku.
Pidana pengawasan,
merupakan bentuk hukuman mirip dengan pidana bersyarat di mana
penyalahguna narkotika tidak dipenjara, tetapi diawasi oleh pihak
berwenang, seperti BNN, kejaksaan, atau lembaga rehabilitasi, dalam
jangka waktu tertentu. Pelaksanaan pidana pengawasan dapat
dikombinasikan dengan pelaksanaan syarat khusus berupa rehabilitasi,
dalam masa tersebut pengguna narkotika direhabilitasi, dan diberikan
kesempatan untuk memperbaiki tanpa perlu menjalani pidana penjara.
Penyalahguna narkotika perlu dikenakan
rehabilitasi sebagai bentuk pemulihan yang diselaraskan dengan
pertanggungjawaban pidana. Dengan berlakunya KUHP Nasional, terdapat
beberapa jenis pidana pokok selain penjara yaitu pidana pengawasan,
pidana denda, dan pidana kerja sosial (Pasal 64 KUHP Nasional/UU No. 1
Tahun 2023) yang dapat dikenakan bagi penyalahguna narkotika.
Di Indonesia, pada
tahun 2023 terdapat sekitar 3,3 juta penyalahguna narkotika, setara
dengan 1,73% dari total penduduk. Kepala Badan Narkotika Nasional
menyebut angka ini sebagai fenomena gunung es yang berpotensi meningkat
hingga 10 kali lipat (BNN, 2023). Pemerintah Indonesia terus berupaya
meningkatkan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan memberantas
penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika (UU Narkotika) secara implisit menyatakan tindak pidana
narkotika meliputi peredaran gelap dan permufakatan jahat terkait
narkotika. Sementara itu, penyalahguna adalah orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 UU Narkotika). UU
Narkotika bertujuan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi bagi
penyalahguna dan pecandu (Pasal 4 UU Narkotika).
Namun, Pasal 127 UU
Narkotika mengatur penyalahguna narkotika untuk diri sendiri dapat
dikenakan pidana penjara, kecuali jika mereka terbukti sebagai korban
penyalahgunaan. Korban penyalahguna narkotika adalah mereka yang dipaksa
atau ditipu untuk menggunakan narkotika (Penjelasan Pasal 54 UU
Narkotika). UU Narkotika menunjukkan sekalipun rehabilitasi sebagai
upaya pemulihan, tetapi rehabilitasi juga sebagai upaya hukuman
(pemidanaan). Dalam praktiknya, 90% penyalahguna narkotika tetap
dikenakan hukuman penjara (ICJR, 2022).
Penyalahguna narkotika merupakan tindak pidana
Dalam bukunya Asshiddiqie berjudul Teori Hans Kelsen Tentang Hukum dijelaskan, strafbaar feit atau
perbuatan pidana merujuk kepada makna adanya suatu perilaku manusia
yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya
dapat dikenakan sanksi pidana. Pasal 127 UU Narkotika mengatur ketentuan
pidana bagi penyalahguna, sehingga penyalahgunaan narkotika masih
dianggap merupakan tindak pidana. Untuk itu, tindak pidana narkotika
haruslah diikuti dengan pertanggungjawaban pidana agar seseorang dapat
dijatuhi hukuman yakni tiada pidana tanpa kesalahan (nullum crimen sine culpa), kecuali terdapat alasan pemaaf, alasan pembenar, tidak adanya kesalahan dan ketidakmampuan bertanggung jawab.
Namun, frasa
“penyalahguna bagi diri sendiri” dalam Pasal 127 UU Narkotika tidak
membedakan antara pengguna pemula, pengguna rekreasional, pecandu, atau
korban penyalahgunaan, sehingga semua penyalahguna diperlakukan sama.
Berdasarkan pengalaman penulis sebagai hakim dalam menangani kasus
penyalahguna narkotika yang dijatuhi pidana penjara, maupun berita di
media figur publik yang dikenakan rehabilitasi tanpa pidana penjara,
banyak dari mereka kembali terlibat dalam penyalahgunaan narkotika. Hal
ini menunjukkan bahwa rehabilitasi tidak sepenuhnya mencegah pengguna
untuk tidak lagi terjerat dalam penyalahgunaan narkotika.
UU Narkotika perlu
secara tegas mengatur jenis-jenis penyalahguna narkotika serta
memastikan bahwa penyalahguna merupakan tindak pidana yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana, kecuali korban penyalahguna yang
memiliki alasan pembenar atau pemaaf. Penulis berbeda pandangan dengan
kebijakan dan penelitian yang mendukung pendekatan Restorative Justice melalui rehabilitasi tanpa sanksi pidana (pertanggungjawaban pidana), karena Restorative Justice tidak
menghapuskan pertanggungjawaban pidana. UU Narkotika bertujuan
memberikan rehabilitasi bagi penyalahguna sebagai upaya pemulihan, namun
kebijakan ini sering diperdebatkan.
Banyak masyarakat yang
memandang rehabilitasi sebagai “hukuman ringan” karena dilakukan di
pusat perawatan yang tidak sepenuhnya membatasi kebebasan. Ada juga
kekhawatiran pengedar kecil yang termasuk pengguna memanfaatkan
rehabilitasi untuk menghindari pidana penjara. Proses penegakan hukum
yang tidak transparan dan tebang pilih semakin memperburuk persepsi
tersebut. Rehabilitasi dianggap tidak memberikan efek jera dan bahkan
dianggap salah satu faktor peningkatan jumlah pengguna narkotika. Dalam
pemberantasan narkotika, efek jera sangat penting untuk memutus
permintaan narkotika ilegal (demand), yang akhirnya akan melemahkan pasar narkotika sesuai prinsip ekonomi supply and demand.
Rehabilitasi bukan sanksi pidana
Tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di
tempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan (Penjelasan
Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP). Pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika diwajibkan menjalani rehabilitasi. Ketentuan ini sejalan
dengan Peraturan Bersama Mahkamah Agung yang mengatur penempatan pecandu
narkotika di lembaga rehabilitasi. Tersangka atau terdakwa
penyalahgunaan narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan,
penuntutan, atau persidangan dapat diberikan pengobatan, perawatan, dan
pemulihan di lembaga rehabilitasi. Peraturan ini bertujuan memastikan
proses rehabilitasi berjalan secara sinergis dan terpadu pada setiap
tingkat pemeriksaan, mulai dari penyidikan hingga pemidanaan (Pasal 3
ayat (1) Peraturan Bersama Ketua 7 Institusi Mahkamah Agung,
Kemenkumham, Kemenkes, Kemensos, Kejaksaan Agung, Kepolisian dan Badan
Narkotika Nasional tahun 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi).
Rehabilitasi merupakan
sebuah penanganan khusus terhadap penyalahguna narkotika yang dapat
dilakukan pada setiap tingkat pemeriksaan agar terbebas dari
ketergantungan narkotika bukan suatu bentuk pemidanaan. Akan tetapi,
tidak setiap kabupaten/kota memiliki sarana rehabilitasi, sehingga
ketersediaannya terbatas. Dalam praktiknya, tidak semua penyalahguna
narkotika didakwa dengan Pasal 127 UU Narkotika atau melalui pemeriksaan
Tim Asesmen Terpadu sebagai syarat rehabilitasi, sehingga terlihat
adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Untuk mengatasi
ketidakadilan tersebut, Hakim dapat menjatuhkan rehabilitasi sesuai
Pasal 103 UU Narkotika jika barang bukti narkotika yang ditemukan tidak
melebihi batas yang ditentukan (SEMA 4 tahun 2010). Penempatan terdakwa
di lembaga rehabilitasi ditujukan untuk pemulihan atau pengurangan
pidana penjara, dalam hal ini diselaraskan juga sebagai pemidanaan oleh
putusan pengadilan.
Mahkamah Agung berupaya memberikan rasa keadilan, hakim dapat
menjatuhkan pidana penjara yang menyimpangi pidana minimum khusus dalam
Pasal 112, Pasal 114 UU Narkotika dalam hal terdakwa yang tidak didakwa
dengan Pasal 127, namun hakim menilai bahwa terdakwa terbukti sebagai
penyalahguna (SEMA 3/2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno
Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan).
Alternatif pidana penyalahguna narkotika
Penyalahguna narkotika perlu dikenakan rehabilitasi sebagai bentuk
pemulihan yang diselaraskan dengan pertanggungjawaban pidana. Hal ini
bertujuan agar menjadi contoh bagi masyarakat untuk tidak menggunakan
narkotika. Dengan berlakunya KUHP Nasional, terdapat beberapa jenis
pidana pokok selain penjara, yaitu pidana pengawasan, pidana denda, dan
pidana kerja sosial (Pasal 64 KUHP Nasional/UU No. 1 Tahun 2023).
Pembentuk undang-undang dapat mengatur bentuk pemidanaan yang tepat bagi
penyalahguna narkotika merujuk KUHP Nasional.
Pidana kerja sosial,
merupakan hukuman yang mengharuskan pelaku melakukan pekerjaan untuk
masyarakat sebagai tanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku dapat
melakukan kegiatan seperti membersihkan fasilitas umum, membantu di
panti rehabilitasi, atau mendukung kampanye pencegahan penggunaan
narkotika. Tujuannya adalah untuk mengurangi stigma kriminal terhadap
penyalahguna narkotika, memberikan kontribusi positif kepada masyarakat,
dan membantu pemulihan sosial, serta psikologis pelaku.
Pidana pengawasan,
merupakan bentuk hukuman mirip dengan pidana bersyarat di mana
penyalahguna narkotika tidak dipenjara, tetapi diawasi oleh pihak
berwenang, seperti BNN, kejaksaan, atau lembaga rehabilitasi, dalam
jangka waktu tertentu. Pelaksanaan pidana pengawasan dapat
dikombinasikan dengan pelaksanaan syarat khusus berupa rehabilitasi,
dalam masa tersebut pengguna narkotika direhabilitasi, dan diberikan
kesempatan untuk memperbaiki tanpa perlu menjalani pidana penjara.
Oleh : Syifa Alam, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Ruteng ( hukumonline.com)