Quo Vadis Putusan MK Dosen PNS Bisa Jadi Advokat

Dengan adanya Putusan MK yang memperbolehkan dosen PNS menjadi advokat, mereka kini dapat membantu masyarakat miskin dalam pendampingan hukum, termasuk di pengadilan. Keputusan ini diharapkan mampu memperkuat akses keadilan bagi masyarakat termarjinalkan.

Dengan adanya Putusan MK yang memperbolehkan dosen PNS menjadi advokat, mereka kini dapat membantu masyarakat miskin dalam pendampingan hukum, termasuk di pengadilan. Keputusan ini diharapkan mampu memperkuat akses keadilan bagi masyarakat termarjinalkan.

Setiawan Jodi Fakhar. Foto: Istimewa

Setiawan Jodi Fakhar. Foto: Istimewa

Ada kabar baik untuk masyarakat yang kesulitan membayar jasa advokat saat menghadapi kasus hukum. Kini, bantuan hukum dapat diperoleh secara gratis dari dosen PNS yang mengajar di Fakultas Hukum baik di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Dengan memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dosen PNS dapat berpraktik sebagai advokat. Syarat tersebut meliputi mengikuti Pendidikan Kekhususan Profesi Advokat (PKPA), lulus Ujian Profesi Advokat (UPA), dan disumpah di Pengadilan Tinggi untuk mendapatkan lisensi.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mempertegas hal tersebut melalui Putusan Nomor 150/PUU-XXII/2024. Dalam putusan tersebut, Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 20 ayat (2) UU Advokat dinyatakan tidak berlaku bagi dosen PNS yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Artinya, dosen PNS kini dapat menjalankan pengabdian kepada masyarakat sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi tanpa khawatir melanggar ketentuan hukum.

Tri Dharma Perguruan Tinggi mencakup tiga pilar utama: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dosen merupakan pendidik profesional dan ilmuwan yang bertugas mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Memberikan bantuan hukum gratis adalah bentuk nyata dari pengabdian ini.

Keputusan MK ini membawa manfaat besar bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang kurang mampu. Dengan bantuan hukum gratis dari dosen PNS, akses keadilan menjadi lebih mudah. Dosen PNS juga dapat menerapkan ilmu hukum secara langsung, memperkuat peran mereka sebagai agen perubahan dalam sistem hukum Indonesia. Namun, keputusan ini juga menimbulkan polemik di kalangan advokat non-PNS, yang mempertanyakan independensi advokat di bawah naungan pemerintah.

Polemik ini tidak baru. Dalam jurnal yang ditulis Akhiar Salmi berjudul “Sumbangan Pemikiran Terhadap RUU Advokat (2001)”, disebutkan bahwa membatasi dosen PNS hanya pada pendampingan hukum non-litigasi dianggap tidak adil. Hal ini dinilai diskriminatif, terutama jika dibandingkan dengan dokter PNS yang diizinkan membuka praktik. Menurut Salmi, dosen yang berpraktik sebagai advokat dapat membantu mahasiswa memadukan teori dan praktik hukum.

Namun, ada perbedaan mencolok antara advokat murni dan dosen PNS yang menjadi advokat. Dosen PNS tetap mendapatkan gaji bulanan dari negara, dan di masa pensiun, mereka berhak atas tunjangan pensiun. Sebaliknya, advokat murni harus bergantung sepenuhnya pada pendapatan dari klien. Ketika klien sepi, risiko menjadi “pengangguran banyak acara” pun tak terhindarkan.

Dengan adanya Putusan MK yang memperbolehkan dosen PNS menjadi advokat, mereka kini dapat membantu masyarakat miskin dalam pendampingan hukum, termasuk di pengadilan. Keputusan ini diharapkan mampu memperkuat akses keadilan bagi masyarakat termarjinalkan.

Profesi advokat menuntut kesabaran ekstra, kemampuan mendengar, dan keteguhan hati. Meski menghadapi banyak tantangan, advokat tetap harus profesional dalam membantu pencari keadilan. Berbeda dengan dosen PNS yang memiliki penghasilan tetap, advokat murni harus kreatif dan mandiri dalam mencari sumber penghasilan tambahan. Oleh karena itu, advokat perlu menunjukkan profesionalisme agar tetap relevan di tengah persaingan.

Membela Tanpa Pamrih: Advokat untuk Rakyat Termarjinalkan
Pasal 1 angka 1 UU Advokat menyatakan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan memenuhi persyaratan sesuai ketentuan UU. Dalam Putusan MK, perdebatan muncul terkait Pasal 3 ayat (1) huruf c, yang menyebutkan bahwa seseorang tidak boleh diangkat sebagai advokat jika masih berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Sementara itu, Pasal 20 UU Advokat melarang advokat menjalankan profesi lain yang dapat mengurangi kebebasan atau merugikan profesi advokat.

Profesi advokat dikenal sebagai officium nobile atau profesi mulia, setara dengan penegak hukum lain seperti hakim, jaksa, dan polisi. Namun, dengan diperbolehkannya dosen PNS menjadi advokat, muncul kekhawatiran akan adanya dualisme peran. Meski begitu, dosen PNS hanya diperbolehkan menangani klien secara cuma-cuma, sehingga tidak ada konflik kepentingan terkait keuntungan finansial.

Bantuan hukum cuma-cuma atau pro bono sendiri sudah diatur dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Advokat. Sayangnya, dalam praktik, pelaksanaannya sering tidak berjalan optimal. Banyak advokat yang enggan memberikan bantuan hukum gratis, karena kebutuhan finansial yang mendesak. Akibatnya, masyarakat miskin seringkali terpinggirkan dari akses keadilan.

Untuk menjawab masalah ini, lahirlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. UU ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin akses keadilan bagi masyarakat rentan. Bantuan hukum juga melibatkan paralegal, mahasiswa hukum, serta dosen PNS dalam pendampingan hukum, baik secara litigasi maupun non-litigasi.

Hak atas bantuan hukum sebenarnya telah diatur dalam berbagai regulasi yakni Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa setiap orang yang berhadapan dengan hukum berhak memperoleh bantuan hukum. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Pasal 54 KUHAP juga mengatur bahwa tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum di setiap tingkat pemeriksaan.

Dengan adanya Putusan MK yang memperbolehkan dosen PNS menjadi advokat, mereka kini dapat membantu masyarakat miskin dalam pendampingan hukum, termasuk di pengadilan. Keputusan ini diharapkan mampu memperkuat akses keadilan bagi masyarakat termarjinalkan.

engan adanya Putusan MK yang memperbolehkan dosen PNS menjadi advokat, mereka kini dapat membantu masyarakat miskin dalam pendampingan hukum, termasuk di pengadilan. Keputusan ini diharapkan mampu memperkuat akses keadilan bagi masyarakat termarjinalkan.

Semoga, ke depan tidak ada lagi kasus seperti yang baru-baru ini viral: seorang pengacara menipu Dwi Ayu Darmawanti, pegawai toko roti yang menjadi korban penganiayaan bosnya di Cakung, Jakarta Timur. Untuk membayar pengacara, Dwi Ayu bahkan terpaksa menjual motornya. Namun, pengacara tersebut justru kabur setelah menerima uangnya. Kasus seperti ini tidak boleh terulang.

Seperti yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer: “Kalau ahli hukum tak merasa tersinggung karena pelanggaran hukum, sebaiknya dia jadi tukang sapu jalanan.”

 Oleh : Setiawan Jodi Fakhar, S.H., ( hukumonline.com )


LINK TERKAIT