PRINSIP PENCEMAR MEMBAYAR (POLLUTER PAYS PRINCIPLE) DALAM HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
Perubahan iklim telah menjadi salah satu tantangan global paling signifikan di abad ke-21. Dampaknya tidak hanya terbatas pada aspek lingkungan, tetapi juga mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Kenaikan suhu global, pencairan es di kutub, kenaikan permukaan laut, serta intensitas bencana alam yang semakin sering terjadi menjadi bukti nyata dari krisis ini. Meskipun dampak perubahan iklim dirasakan oleh seluruh negara, tidak semua negara memiliki kontribusi dan kapasitas yang sama untuk
Perubahan
iklim telah menjadi salah satu tantangan global paling signifikan di
abad ke-21. Dampaknya tidak hanya terbatas pada aspek lingkungan, tetapi
juga mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Kenaikan suhu
global, pencairan es di kutub, kenaikan permukaan laut, serta intensitas
bencana alam yang semakin sering terjadi menjadi bukti nyata dari
krisis ini. Meskipun dampak perubahan iklim dirasakan oleh seluruh
negara, tidak semua negara memiliki kontribusi dan kapasitas yang sama
untuk menghadapinya. Negara-negara berkembang, yang cenderung paling
rentan terhadap dampak perubahan iklim, justru memiliki kontribusi yang
jauh lebih kecil terhadap emisi gas rumah kaca global.
Dalam konteks
ini, konsep keadilan iklim muncul sebagai upaya untuk memastikan bahwa
tanggung jawab dan dampak perubahan iklim didistribusikan secara adil.
Prinsip keadilan iklim berakar pada gagasan common but differentiated responsibilities and respective capabilities (CBDR-RC),
yang pertama kali diperkenalkan dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 1992. Prinsip ini mengakui
bahwa negara-negara maju memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam
mengatasi perubahan iklim karena kontribusi historis mereka terhadap
emisi gas rumah kaca. Selain itu, negara-negara maju juga memiliki
kapasitas ekonomi dan teknologi yang lebih baik untuk mendukung upaya
mitigasi dan adaptasi global. (OECD, 2022).
Dampak
perubahan iklim terhadap negara-negara berkembang semakin nyata. Sebagai
contoh, negara-negara kepulauan kecil di Pasifik menghadapi ancaman
langsung dari kenaikan permukaan laut, yang tidak hanya merusak
infrastruktur tetapi juga mengancam keberadaan fisik negara tersebut.
Situasi ini menuntut adanya pendekatan hukum internasional yang tidak
hanya bersifat reaktif tetapi juga proaktif dalam memastikan keadilan
iklim.
Perubahan
iklim tidak berdampak merata di seluruh dunia. Justru sebaliknya,
orang-orang dan komunitas yang paling rentan terhadap dampaknya
seringkali merupakan mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap
masalah tersebut. Ini adalah inti dari ketidakadilan iklim. Masyarakat
miskin, masyarakat adat, dan negara-negara berkembang, yang secara
historis menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih sedikit
dibandingkan negara-negara maju, kini menghadapi konsekuensi terberat
dari perubahan iklim. (IPCC, 2021).
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
secara eksplisit menyebutkan kerentanan negara-negara kepulauan kecil
terhadap kenaikan permukaan air laut dan dampak perubahan iklim lainnya.
Kekeringan yang berkepanjangan dan pola cuaca ekstrem mengganggu
pertanian subsisten di Afrika, padahal emisi per kapita di benua itu
jauh di bawah rata-rata global.
Gelombang
panas yang semakin sering dan intens berdampak paling parah pada
masyarakat miskin di perkotaan, yang seringkali tinggal di perumahan
yang kurang layak dan memiliki akses terbatas ke pendingin. Studi juga
menunjukkan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah dan minoritas
seringkali tinggal di daerah perkotaan yang lebih panas karena faktor
seperti kurangnya ruang hijau dan “pulau panas perkotaan”. Singkatnya,
mereka yang paling tidak mampu menghadapi dampak perubahan iklim justru
dipaksa menanggung beban terberat. (Hoffman, 2020)
Ketidakmerataan
dampak perubahan iklim menimbulkan pertanyaan etis yang mendasar
tentang keadilan dan tanggung jawab. Mengapa mereka yang paling sedikit
berkontribusi terhadap masalah tersebut harus menanggung beban terberat?
Ketidakadilan ini menuntut tindakan segera dan terkoordinasi untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca dan membantu masyarakat yang rentan
beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang tak terhindarkan.
Keadilan iklim bukan hanya tentang mengatasi perubahan iklim, tetapi
juga tentang memastikan bahwa transisi menuju masa depan yang
berkelanjutan dilakukan dengan cara yang adil dan inklusif.
Ditengah
pencemaran yang semakin masif terjadi di dunia serta pertanyaan mengenai
keadilan dan tanggung jawab, muncul prinsip dalam dunia internasional
yaitu prinsip pencemar membayar (polluter pays principle). Berdasarkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yang dimaksud dengan polluter pays principle (PPP)
itu sendiri merupakan sebuah prinsip yang mengharuskan bagi pencemar
untuk menanggung sejumlah biaya atas tindakan yang dilakukan untuk dapat
mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang telah
ditimbulkan pada masyarakat atau bahkan yang melebihi tingkat atau
standar polusi yang dapat diterima. Menurut Siswanto, Kepala Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK
Migas), mengenai polluter pays principle dapat dikatan bahwa
bagi setiap orang yang dalam rangka melakukan kegiatannya dapat
berpotensi menyebabkan dampak penting terhadap lingkungan, maka
diharuskan memikul biaya pencegahan (preventive) atau biaya penanggulangan (restorative).
PPP telah
diakui dan diimplementasikan dalam berbagai instrumen hukum
internasional, yang mencakup berbagai bidang pencemaran, antara lain:
- Konvensi
Internasional tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal (MARPOL 73/78):
Konvensi ini mengatur berbagai jenis pencemaran dari kapal, termasuk
minyak, zat cair berbahaya, zat yang dikemas, limbah, dan polusi udara.
Prinsip PPP tercermin dalam ketentuan yang mewajibkan pemilik kapal
untuk bertanggung jawab atas biaya pembersihan dan pemulihan akibat
tumpahan minyak atau pencemaran lainnya. Contoh konkretnya adalah kasus
tumpahan minyak Exxon Valdez di Alaska pada tahun 1989, di mana
perusahaan Exxon diwajibkan membayar ganti rugi dan biaya pembersihan
yang sangat besar.
- Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982: UNCLOS
mewajibkan negara-negara untuk mengambil langkah-langkah untuk mencegah,
mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut. Meskipun
tidak secara eksplisit menyebutkan “Polluter Pays Principle“, UNCLOS mendasari kewajiban negara untuk memastikan bahwa pihak yang bertanggung jawab atas pencemaran menanggung biayanya.
- Konvensi
tentang Pencemaran Udara Lintas Batas Jarak Jauh (CLRTAP): Konvensi ini
berfokus pada pengurangan emisi polutan udara yang menyebabkan hujan
asam dan masalah lingkungan lainnya. Protokol-protokol di bawah CLRTAP
sering kali menetapkan target pengurangan emisi dan mekanisme
pembiayaan, di mana negara-negara yang menghasilkan emisi lebih tinggi
diharapkan berkontribusi lebih besar untuk pendanaan upaya pengurangan
emisi.
- Konvensi
Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan
Pembuangannya: Konvensi ini mengatur pergerakan limbah berbahaya antar
negara dan menekankan tanggung jawab negara penghasil limbah untuk
memastikan pengelolaan yang ramah lingkungan. Prinsip PPP tercermin
dalam ketentuan yang mewajibkan negara pengekspor untuk mengambil
kembali limbahnya jika terjadi pembuangan ilegal atau tidak benar di
negara pengimpor.
Negara-negara
maju menikmati manfaat ekonomi dari industrialisasi yang berbasis bahan
bakar fosil, sementara negara-negara berkembang sekarang menghadapi
dampak negatifnya tanpa menikmati keuntungan yang sama. Oleh karena itu,
secara moral dan praktis, negara-negara maju memiliki kewajiban untuk
memimpin upaya mitigasi (pengurangan emisi) dan menyediakan dukungan
finansial dan teknologi kepada negara-negara berkembang untuk
beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang tak terhindarkan.
Di Indonesia, PPP diintegrasikan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan, terutama:
- Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU PPLH): Pasal 1 angka 21 UU PPLH mendefinisikan “pencemaran
lingkungan hidup” sebagai masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan 1
manusia, sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan. 2 Pasal 1 angka 22 mendefinisikan “kerusakan lingkungan
hidup” sebagai perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat
fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup. 3 Pasal 87 secara eksplisit mengatur
prinsip pencemar membayar, yang menyatakan bahwa setiap orang yang
melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib
menanggung biaya pemulihan lingkungan.
- Peraturan
Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (PP B3): PP ini mengatur pengelolaan limbah B3
dari hulu ke hilir, termasuk tanggung jawab penghasil limbah untuk
mengelola limbahnya dengan benar.
- Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup:
Peraturan ini mengatur tata cara penghitungan dan penetapan ganti rugi
akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Meskipun PPP
merupakan prinsip yang penting terkadang sulit untuk menentukan secara
pasti siapa pihak yang bertanggung jawab atas pencemaran, terutama dalam
kasus pencemaran yang disebabkan oleh akumulasi berbagai sumber atau
pencemaran lintas batas. Kemudian, menghitung biaya pemulihan lingkungan
secara akurat bisa sangat kompleks, terutama untuk kerusakan ekosistem
yang sulit diukur secara ekonomi. Selain itu, Penegakan hukum yang tidak
efektif dapat menghambat penerapan PPP. Kurangnya sumber daya, korupsi,
dan tekanan politik dapat menghalangi penegakan hukum terhadap
pencemar. Dalam beberapa kondisi negara berkembang seringkali menghadapi
keterbatasan kapasitas, baik dari segi kelembagaan, teknologi, maupun
finansial, untuk menerapkan PPP secara efektif.
Oleh : Sayyidi Fajri Ahmad (bphn.go.id)