Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara tegas menyebutkan
bahwa Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara hukum yang berdasarkan
pada Pancasila dan UUD 1945 (Jimly Asshiddiqie, 2020). Sebagai negara
yang menganut konsep negara hukum (Rechtsstaat, Rule of Law),
maka diperlukan suatu sistem hukum nasional sebagai wadah atau pijakan
dan arah pembangunan hukum nasional. Sistem hukum nasional adalah
sistem hukum yang berlaku di seluruh Indonesia yang meliputi
unsur-unsur hukum (seperti isi, struktur, budaya, sarana peraturan
perundang-undangan dan semua sub unsurnya) yang antara satu dengan yang
lainnya saling bergantung dan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945
(Anna Maudina Manurung dkk, 2024).
Indonesia sendiri secara umum menganut tradisi hukum Eropa Kontinental atau yang sering dikenal dengan sistem hukum civil law (Jimly
Asshiddiqie, 2020). Walaupun dalam kenyataannya, hidup dan berkembang
pula dalam kehidupan masyarakat maupun ketatanegaraan kita sistem hukum
lain yaitu sistem hukum adat dan sistem hukum Islam (Zaka Firma
Aditya & Rizkisyabana Yulistyaputri, 2019). Salah satu ciri utama
dari negara yang menganut sistem hukum civil law adalah pentingnya peraturan perundang-undangan tertulis atau “statutory laws” atau “statutory legislations”, dan sekaligus menjadi sumber hukum utama. Hal ini tentunya berbeda dengan negara yang menganut sistem hukum common law yang
lebih mengutamakan putusan pengadilan atau yurisprudensi sebagai sumber
hukum dalam menyelesaikan suatu perkara. Oleh karena itu, sistem common law disebut juga dengan “the judiciary law” atau “the case law” (Jimly Asshiddiqie, 2020).
Selain itu, eksistensi peraturan perundang-undangan dalam negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental (civil law system)
sangatlah penting, karena bila dikaitkan dengan asas legalitas yang
berarti setiap tindakan pemerintah harus memiliki dasar pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Jamaludin Ghafur, 2018). Termasuk
keberadaan peraturan perundang-undangan sebagai dasar untuk mengatur
penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga negara dan juga untuk
melindungi hak-hak warga negara (Jimly Asshiddiqie, 2020). Mengingat
pembentukan peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis merupakan
konsekuensi dari sistem hukum civil law yang dianut oleh
Indonesia, maka peran legislasi dan regulasi sangatlah sentral dan
fundamental di negara hukum Indonesia. Hanya saja apabila dilihat dalam
praktik kehidupan sehari-hari, ternyata masih banyak ditemukan
kekeliruan di tengah masyarakat dalam membedakan antara regulasi dan
legislasi. Kekeliruan tersebut mungkin saja disebabkan oleh beberapa
faktor seperti keduanya sama-sama menghasilkan aturan yang mengikat,
penggunaan bahasa sehari-hari yang menyederhanakan definisi hukum itu
sendiri dan lain-lain. Karena bagi masyarakat memang yang terpenting
adalah “aturan yang berlaku” dan bagaimana aturan tersebut memengaruhi
kehidupan mereka, tanpa perlu terlalu memusingkan klasifikasi atau
hierarki formalnya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, Penulis mencoba
menjelaskan perbedaan antara legislasi dan regulasi.
PERBEDAAN ANTARA LEGISLASI DAN REGULASI
- LEGISLASI (LEGISLATION)
Dalam bahasa Inggris kata “legislation” maupun “regulation” terkadang
tidak dibedakan. Keduanya menunjuk pada pengertian yang sama yaitu
pengaturan dan peraturan. Namun dalam praktik, makna kata regulation memiliki konotasi yang lebih luas, sedangkan legislation hanya terbatas pada produk-produk parlemen sebagai lembaga legislatif. Meski demikian, terkadang justru legislation yang
dianggap lebih luas karena regulasi sendiri dinilai sebagai salah satu
bentuk dari legislasi. Hal ini karena regulasi merupakan delegated legislation atau regulasi yang kewenangan pengaturan atau pembentukannya didelegasikan oleh Undang-Undang (legislation) (Jimly Asshiddiqie, 2007).
Dalam Black’s Law Dictionary,
pengertian legislasi sangat luas, tidak hanya menetapkan atau
memberlakukan Undang-Undang. Tetapi juga diartikan dengan: (a) kekuasaan
untuk membuat Undang-Undang; (b) tindakan legislatif; (c) penyusunan
dan pemberlakuan Undang-Undang; (d) pembuatan hukum melalui
Undang-Undang, berbeda dengan hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh
pengadilan; dan (e) perumusan aturan untuk masa depan. Hukum ditetapkan
oleh badan legislatif (Hendry Campbell Black, 1978). Sedangkan dalam
pengertian sempit dan dalam praktik di dunia hukum, legislasi (legislation) sering dipahami menyangkut Undang-Undang (Jimly Asshiddiqie, 2021).Karena itu, Undang-Undang disebut sebagai “legislative act” yang dapat dibedakan dengan “executive act”. Legislatif act sebagai
akta hukum (akta legislasi) merupakan produk yang dibentuk oleh lembaga
legislatif (lembaga perwakilan rakyat) dengan persetujuan bersama
dengan lembaga eksekutif (Jimly Asshiddiqie, 2020).
Menurut Jimly Asshiddiqie, produk legislasi (legislation act)
tidak hanya terbatas pada Undang-Undang yang dihasilkan oleh lembaga
perwakilan rakyat. Melainkan juga termasuk Peraturan Daerah (Perda) baik
di tingkat Provinsi maupun di tingkat Kota/Kabupaten. Mengingat Perda
itu sendiri dihasilkan dari pembahasan bersama oleh Pemerintah Daerah
setempat bersama dengan DPRD. Hal ini persis sama atau mirip dengan
proses pembentukan Undang-Undang di tingkat pusat, yaitu sama-sama
melibatkan dua lembaga secara bersama-sama, yaitu parlemen dan
pemerintah. Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang menyebutkan bahwa “UU adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden”, sedangkan untuk
Perda dalam hal ini Perda Provinsi dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan
bersama Gubernur, dan Perda Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota (Pasal 1 angka
7 dan 8). Selain itu, para anggota DPRD juga sama dengan anggota DPR
yang dipilih melalui pemilihan umum setiap 5 (lima) tahun sekali. Karena
itu, DPRD Provinsi, Kota/Kabupaten dapat dikatakan sebagai lembaga
legislatif (lembaga legislatif daerah), yang juga menjalankan fungsi
legislasi, pengawasan, dan anggaran layaknya sebagaimana fungsi pokok
DPR ditingkat pusat, dengan produk hukumnya berupa Perda baik Perda
Provinsi, Kabupaten sebagai “legislative act” atau produk legislasi daerah (Jimly Asshiddiqie, 2021). Dengan demikian, produk legislatif (legislative act)
yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia dapat terdiri dari:
Undang-Undang (UU); Peraturan Daerah (Perda) Provinsi; dan Peraturan
Daerah (Perda) tingkat Kabupaten/Kota.
- REGULASI (REGULATION)
Regulasi (regulation) biasa
dipahami dalam konotasi pengertian yang bersifat “hierarkis di bawah
legislasi yaitu sebagai peraturan pelaksanaan di bawah Undang-Undang”.
Adapun yang termasuk dalam kategori produk regulasi adalah “executive acts”
yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah atau
lembaga eksekutif sebagai pelaksana Undang-Undang (Jimly Asshiddiqie,
2021). Berbeda dengan legislative acts, executive acts hanya ditetapkan oleh pihak eksekutif saja sebagai pelaksana Undang-Undang atau produk legislatif yang bersangkutan. Terkadang executive acts tersebut
memang didelegasikan pengaturannya oleh produk legislatif, tetapi
kadang hanya merupakan tafsiran pihak eksekutif sendiri mengenai
kebutuhan hukum untuk menetapkannya sebagai peraturan (Jimly
Asshiddiqie, 2007).
Selain itu, menurut Jimly Asshiddiqie, “executive act”
dalam arti sempit adalah peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh
lembaga-lembaga eksekutif dalam rangka melaksanakan Undang-Undang. Akan
tetapi, dalam arti luas, semua lembaga negara yang menetapkan sesuatu
peraturan sebagai pelaksana atau dalam rangka menjalankan ketentuan
undang-undang meskipun tidak disebut sebagai lembaga eksekutif atau
pemerintahan, maka peraturan dimaksud dapat pula disebut sebagai executive act (Jimly Asshiddiqie, 2006).
Produk regulasi sendiri dapat dibagi
menjadi produk regulasi umum dan produk regulasi khusus. Produk regulasi
umum, oleh Jimly Asshiddiqie dijelaskan bahwa lembaga pemerintahan yang
menetapkan berbagai bentuk peraturan yang tersusun secara hierarkis
sebagai produk regulasi (regulations) mempunyai struktur yang
juga bertingkat-tingkat secara hierarkis. Namun, terlepas dari hierarki
organ pembentuknya, bentuk-bentuk peraturan yang ditetapkan oleh
organ-organ eksekutif itu memang bersifat hierarkis satu dengan yang
lain, sesuai dengan doktrin hierarki norma hukum Hans Kelsen (stufenbau des recht).
Beberapa peraturan yang masuk dalam kategori regulasi umum yaitu:
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan
Menteri (Permen). Sedangkan produk regulasi khusus, yaitu regulasi yang
berkenaan dengan sifatnya yang tersendiri dalam arti (i) tidak serta
merta disetarakan atau dibandingkan derajat hierarkinya dengan
bentuk-bentuk peraturan yang bersifat umum. Misalnya, Peraturan Bank
Indonesia (PBI) tidak serta merta dapat dianggap sederajat dengan
Peraturan Menteri karena kedudukan Gubernur Bank Indonesia yang dianggap
sederajat dengan Menteri; (ii) derajat hierarkis Peraturan Bank
Indonesia (PBI), Peraturan Mahkamah Agung (PerMA), ataupun Peraturan
Komisi Pemilihan Umum sebagai bentuk-bentuk peraturan yang bersifat
khusus tidak bergantung kepada hierarki kedudukan ketatanegaraan lembaga
yang membentuknya (Jimly Asshiddiqie, 2007).
Baik peraturan yang bersifat umum
ataupun khusus apabila dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan atau
Undang-Undang, maka dapat disebut sebagai peraturan pelaksana
Undang-Undang yang bersifat “implementing acts” dan oleh karenanya dapat disebut sebagai “executive acts”. Beberapa produk regulasi (executive acts)
dalam sistem hukum Indonesia yaitu: Peraturan Pemerintah (PP),
Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Bank
Indonesi (PBI) Peraturan KPU, Peraturan Mahkamah Agung (PerMA),
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), Peraturan Tata Tertib DPR, DPD,
Peraturan BPK, Peraturan KPK, dll.
Di samping itu, secara hierarki peraturan perundang-undangan, produk regulasi (executive acts)
memiliki kedudukan lebih rendah yaitu di bawah Undang-Undang (UU) dan
merupakan peraturan pelaksana dari UU itu sendiri. Oleh karena itu,
produk regulasi, misalnya: Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden
(Perpres), dll tidak boleh bertentangan dengan UU sebagai norma hukum
yang lebih tinggi sekaligus menjadi sumber bagi norma hukum yang ada di
bawahnya. Hal ini sesuai dengan konsep terori hierarki norma hukum atau
dalam bahasa Jerman disebut Stufenbaulehre (teori jenjang norma) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.
Oleh : Yusuf Randi (jdih.komdigi.go.id)